Cerita Tentang Haji Mabur dan Haji Mabrur (Cipika Cipiki)

725

Haji MaburSelamat datang kepada seluruh jama’ah haji dunia. Selamat berjuang kembali menghadapi piciknya bujuk rayu kesenangan. Selamat ‘turun gunung’ ke glamoritas modernisasi yang penuh dengan kepalsuan. Semoga ‘minyak haji’ yang mengguyur seluruh jiwa, tetap melekat sehingga ‘air comberan’ kemunafikan tak melekat dan mengotori kesucian bathin. Sebab minyak dan air tak akan pernah bersatu. Itu adalah kausa prima.

Kesholehan dan kesalahan bagaikan minyak dan air. Orang yang sholeh tidak akan mau dilekati dengan kesalahan. Ia selalu mengintropeksi diri. Perbuatan yang salah segera ia sesali dan coba memperbaiki. Sedangkan dengan perbuatannya yang benar, akan terus ia tingkatkan hingga titik terpuncak, yakni integritasnya dengan sang Kholik. Kesholehan memiliki tujuan hidup yang jelas, yaitu Allah. Setiap langkah dan aktivitasnya tidak akan keluar dari koridor ke ridhoan-Nya. Allah selalu dijadikan saksi atas setiap perbuatannya. Lihatlah filosofik orang yang sedang berthawaf. Disekeliling ka’bah orang berputar mengelilinginya. Satu arah. Rapih dan teratur sekali. Tenag. Dengan damai mereka bertalyibah.

Agak jauh sedikit dari orang yang berthawaf, terlihatlah orang melakukan aktifitas ibadahnya sendiri-sendiri. Ada yang shalat, berdzikir, baca Al-Qur’an, ada juga yang berdo’a sambil nangis. Mereka mulai tidak terarah namun tetap dalam koridor Ka’bah. Namun jauh di luarnya lagi terlihat orang lalu lalang, hiruk pikuk dengan kesibukkannya sendiri yang bukan merupakan amaliyah ibadah. Diluar masjid, ada yang rebut, marah, nyopet dan lain sebagainya. Hal ini mengandung makna, bahwa siapa yang hidupnya selalu berdekatan dengan Allah, seperti thawaf yang mengelilingi Ka’bah, maka hidupnya akan teratur. Disiplin, tenang dan sangat elegant. Namun bila menjauh sedikit dari-Nya, mulailah agak semrawut, tapi tetap dalam naungan kedamaian. Namun bagi mereka yang sudah terlalu jauh dari Allah, hidupnya akan tak karuan. Nafasnya selalu diselimuti dengan kecurigaan, amarah dan cacian. Pola hidupnya tak terarah. Jauh dari rahmat hingga akhirnya mereka seperti orang buta ditengah malam yang berjalan meraba sedapatnya. Saling sikut-sikutan, saling injak, saling tonjok. Kepala dikira kaki dan kaki dikira jidat. Manusia yang jauh dari mengingat Allah, hidupnya tak terarah dan nestapa.

Haji yang mabrur itu adalah perilaku yang menjadi lebih baik setelah pulang dari haji. Imannya kepada Allah bertambah, semangat hidupnya membara. Kebaikannya melimpah dan hidupnya bermanfaat buat sebanyak-banyaknya manusia. Beda dengan haji mabur, seperti kisah konidin pada abad ke 1000 sebelum misuhi (bukan masehi).

Sepulang dari haji Sekh Konidin berusaha untuk memperbaiki ibadahnya. Jam 10 pagi sudah terlihat berangkat ke masjid. Semua tetangganya menyaksikan dengan kagum. Bagaimana tidak, wong sekh konidin sebelum haji lagunya seperti kutu kupret. Boro-boro sholat, jumlah roka’at sholat saja dia tidak tahu.

“Sekh, mau kemana? Kok rapi banget kaya orang mau ke masjid.” Tanya tetangganya.
“Iya nih. Di mekah saya biasa berangkat untuk sholat zuhur jam 10. Takut ndak kebagian tempat.”

Tetangga berdecak kagum melihat perubahan sekh yang sangat signifikan. Keesokan harinya pun terlihat jam 10 pagi sekh sudah berangkat ke masjid untuk sholat zuhur. Namun setelah dua bulan berada di tanah air, kelihatan Sekh Konidin mulai kembali pada habitat kelakuannya. Bangor lagi. Jam setengah tiga, terlihat Sekh berangkat ke masjid, orang-orang masih berdecak kagum.

“Sekh, inikan baru setengah tiga, mau ke masjid buat sholat ashar ya?” Tanya tetangga.
“Husssstt… jangan berbisik, aku baru mau sholat zuhur …hehehe…” ujar Sekh sambil jalan ijig-ijig kayak maling kesiangan.

Kalau berubah baiknya hanya sekitar sebulan atau dua bulan dari sejak kepulangan dari hajinya. Itu sih latah, bukannya mabrur.

Haji mabrur itu bukan hanya dimiliki oleh orang-orang yang pernah ke tanah suci. Tapi banyak cara. Seperti kendikanya kanjeng Rasul, bagi orang lelaki yang belum mampu berangkat ke tanah suci, kemudian pada hari jum’at, ia mandi besar dengan niat mandi sunnah sholat jum’at, lalu berpakaian putih-putih dengan wewangian. Terus duduk di depan masjid di shaf paling depan, mendengarkan khatib ceramah dan mengerti, selesai sholat jum’at ia berdo’a dengan pasrah kepada Allah, pertekad mengamalkan petuah khatib. Maka ketika ia pulang kerumah, julukan haji mabrur telah diberikan kepadanya.

Intinya, haji mabrur memilikki makna perubahan total jiwa dan raga peada wujud konsekuensi manusi terhadap sang Pencipta dengan melakukan tindak kebajikan kepada sesame makhluk. Ini bisa ditempuh dengan berbagai cara. Baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun sekedar dengan hakekatnya saja. Ya tetap saja beda antara orang makan singkong dengan makan roti, meski pada tujuan yang sama yakni kenyang.

Dahulu pernah ada orang meninggal dunia pada saat ihram, lalu sahabat ingin memandikannya dan mengganti pakaiannya dengan kain kafan, tapi Rasulullah mencegah. “Biarkan dia memakai dengan pakaian itu, sebab nanti Allah akan membangkitkannya, juga dengan pakaian itu.”Ada bahasa syahid buat yang meninggal pada saat haji. Dan cobalah perhatikan firman Allah yang menyatakan “barang siapa yang keluar mencari ilmu, maka dia sedang berada di jalan Allah hingga kembali kerumah.” Itu artinya, predikat untuk orang yang keluar berhaji dengan orang yang keluar untuk menimba ilmu, sama. Ya, sama-sama fi sabilillah.

Ibnu Abbas pernah sedang mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya, tiba-tiba suara adzan berkumandang, lalu salah seorang murid berdiri kemudian berkata “ya ibnu Abbas, berdirilah engkau dan shalat.” Ibnu Abbas tetap saja melanjutkan mengajarnya, hingga tiga kali murid itu mengingatkannya, lalu Ibnu Abbas berkata, “siapakah yang lebih menerti tentang agama antara aku dan dirimu?” kemudian Ibnu Abbas menyampaikan hadit Rasul tentang keutamaan berilmu, bahwa tidurnya orang berilmu dengan lebih baik dari orang yang ibadahnya tidak berilmu, setara dengan 1000 rakaat orang yang tidak berilmu. “Sedangkan saat ini aku sedang mengajarkan ilmu agar kalian bisa beribadah dengan ilmu.”

Dengan ilmu, seseorang bisa memahami apa dan untuk apa perbuatan atau ibadah yang sedang dilakukannya. Sehingga ibadah itu bisa membawa manfaat buat hidupnya, jika tidak bermanfaat buat hidup banyak orang, setiaknya buat dirinya sendiri.

Artinya, ilmu bisa mengantarkan seseorang pada predikat mabrur. Pada hakikat hidup. Oleh karenanya pencapaian mabrur bukan hanya pada perbuatan haji, melainkan juga hal yang lainnya. Yang penting, berkat suatu amaliyah ibadah (ibadah apapun) seseorang bisa menjadi lebih baik kedepannya, itulah mabrur.

“Kalau begitu, membaca majalah yang sarat dengan ilmu kemudian mengamalkannya, juga termasuk menuntut ilmu dan mabrur ya sekh?” Tanya Gus Murak
“Tepat…!! Jika ilmu itu menunjukkan itu kepada bagaimana kalian bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dan kalau yang bacanya saja dianggap fisabilillah, apalagi yang mengedarkannya?” kata Sekh.

“Deeeuuhhhh…. Promosi niyeee….” Ledek ki Semprul. “Lalu bagaimana dengan orang yang memasang bom bunuh diri? Sebab katanya mereka juga sedang berjihad. Apakah itu juga fisabilillah?’ Tanya ki Semprul gantian.

Ditanya begitu, Sekh konidin Cuma bisa diam.

“Apa mereka yang bom bunuh diri akan masuk syurga dan bertemu bidadari?” Gus Murak ikut membajak Sekh.

Hemmmm…”

“Hmmm, apa Sekh…?

“Betulkah para pengebom itu mati syahid dan bertemu bidadari di syurga?” Tanya ki Semprul lagi, kali ini dengan bahasa yang lebih serius yang bikin Sekh makin salah tingkah.

Tapi akhirnnya Sekh pun menjawab. “Memangnya sudah ada yang membuktikannya? Tentu saja belum kan, ulama maupun teroris itu kan juga belum pernah ke syurga. Mereka itu yang jelas bukan mati syahid tapi mati sakit. Dan kalaupun mereka masuk syurga, mereka akan menyesal bertemu bidadari, karena kepalanya masih tertinggal di dunia dan di tahan oleh polisi.”

“Hua ha ha ha….” Serempak Ki Semprul dan Gus Murak terbahak-bahak (*)