Penduduk yang tinggal di pemukiman perkotaan yang tidak teratur relatif dihadapkan dengan serangkaian masalah yang saling terkait, misalnya mereka tidak punya akses yang terbatas untuk pelayanan dasar dan tidak memiliki keamanan dalam hal penguasaan. Situasi mereka berbahaya karena mereka biasanya berasal dari segmen termiskin dari penduduk perkotaan. Namun, harus ditekankan bahwa informalitas tidak berarti ketidakamanan kepemilikan. Beberapa bentuk susunan kepemilikan hunian yang cukup dapat menjamin tingkat keamanan yang baik. Seperti halnya contoh kasus di suatu kota yang memiliki tanah adat komunal, kota tersebut mendapat pengakuan oleh masyarakat lokal dan lingkungannya. Namun, pengaturan ini dapat memburuk dalam keadaan tertentu, sebagai contoh ketika sistem adat dalam krisis, adanya konflik kepemimpinan dalam kelompok pemilik adat, khususnya antara mereka yang mengalokasikan tanah dan anggota kelompok. Apabila beberapa alokasi yang sama namun menghasilkan serangkaian konflik dalam masyarakat misalnya penjualan tanah oleh orang yang tidak sah, maka akan muncul konflik besar antara pemilik adat dan otoritas publik. Banyak yang melakukan transaksi kepemilikan tanah yang berasal dari pedesaan tradisional dengan pengelolaan tanah adat. Namun, pengalokasian hak digunakan pada tanah-tanah komunal dan pemilik adat di pinggiran kota yang menjual bidang tanah untuk perumahan.
Proses percampuran prosedur pengelolaan lahan, rumah tangga yang berpendapatan rendah dalam strategi pengamanan akses terhadap tanah dan produksi pemukiman informal yang mempunyai sistem sendiri. Pengembangan lahan yang tidak sah di lahan swasta juga menawarkan berbagai tingkat perlindungan, tergantung pada otoritas publik dan persepsi dari kepemilikan pemukiman. Bahkan jika daerah tersebut tidak cocok untuk pembangunan perumahan, penghuni umumnya dapat menghasilkan akta penjualan atau properti untuk tanah yang mereka tempati. Perlu dicatat bahwa, di pemukiman tersebut, bagi yang berpenghasilan menengah terlindung dengan baik terhadap penggusuran paksa, karena adanya pengaruh politik, budaya dan kapasitas untuk mengatur secara ekonomi keadaan mereka. Sebaliknya, pemukiman liar lebih terkena penggusuran paksa, terutama yang terletak di daerah perkotaan karena terpengaruh pada tekanan pasar yang tinggi.
Masyarakat berpenghasilan rendah sangat rentan terhadap tekanan eksternal, karena sering tidak adanya kohesi internal di permukiman tersebut, sehingga sulit bagi mereka untuk bersama-sama untuk membela diri. Kebanyakan penghuni permukiman yang tidak teratur, mereka tidak dapat mengajukan permohonan untuk kompensasi dalam hal pemindahan paksa, dan mereka umumnya tidak memenuhi syarat untuk kembali ke pemukiman tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya berkas-berkas yang legal untuk dijadikan acuan kepemilikan atas tanah yang mereka tempati. Berkas-berkas tersebut seperti surat IMB ataupun sertifikat harus tersedia dan menjadi bukti nyata dalam hal kepemilikan tanah.
Tingkat hunian yang keadaannya mengancam status dari penyewa di sub-sektor sewa cenderung berbeda, baik dalam pemukiman yang tidak sah, pemukiman liar, bangunan bobrok di pusat kota, atau pemukiman formal. Hal ini merupakan kelompok yang paling rentan, terutama ketika mereka tergabung secara relevan untuk berbagai tingkat informalitas (misalnya ketika pemilik berada dalam situasi yang tidak teratur). Selain itu aspek sewa kelompok pemukiman yang memiliki sifat homogen, seperti kelompok tani yang berada dalam satu klaster pertanian di dalam suatu wilayah. Namun terdapat penyewa yang bukan penduduk asli wilayah tersebut tersebar di seluruh pemukiman, dengan berbagai pengaturan sewa dalam sektor informal. Dalam hal ini harus terdapat keputusan dan wewenang yang bijak dalam hal kepemilikan tanah baik untuk penduduk lokal ataupun penduduk pendatang.