Menghilang, entah dari mana asal usul kata “hilang” berasal. Yak, mungkin karna memang status dari kata itu yang terlalu memikat pikiran. Sampai menjebak hati yang sedang menepi menunggu cahaya. Cahaya yang selama ini diharapkan, ternyata mengeluarkan sinar hitam, seperti kabut asap tanpa celah. Yaaahh, kabut yang akan membawa pikiran melewati lorong cahaya itu. Pikiran mencoba memaksa hati keluar dari area kabut. Pikiran berteriak keras “Wooooyyy,,, keluarlah, buka mata kamu lebar-lebar!!!” Namun hati tetap terdiam. Hati mencoba bangkit, melawan, berdiri, bertarung sekuat tenaga. Tapiiiiii, hal itu terasa kosong, hambar, dan sia-sia. Terlalu banyak berpikir bahwa awan kabut telah menjadi nyata. Hingga pesulap pun harus tersingkir dan tersungkur kalah hanya karna sesosok kata “Menghilang”.
Yup, mungkin kata “Menghilang” telah merangkak naik keatas menara,, menjujung dirinya sendiri demi suatu keegoisan. Menara yang seharusnya berdiri kokoh demi sebuah kebanggaan, keyakinan, kepastian, tiba-tiba harus menerima beban keegoisan. Sesuatu yang membuat hal itu menjadi tabu dari dunia pesulap. Bebas bertindak dan berlaku ekstrim, apapun yang dirasakan. Menyulap segala hal tabu menjadi suatu kenyataan yang tak pernah tersirat sebelumnya. Menunggu yang tak mungkin datang untuk menyapa lagi, apalah gunanya!! Sia-sia menaruh keyakinan diatas gelapnya pikiran. Berjalan sendiri menentukan kata yang tak pernah terkait kabut, mengingat arah yang pernah tersirat dan terlintas secara cepat. Kicauan hati menutup langkah berpikir secara halus, perlahan, dan berlalu.
Ketidakberdayaan tinjauan makna yang merangkap menjadi sebuah arena permainan baru. Permainan yang membuat tipuan harapan semu, yang tak semestinya dilakukan. Permainan waktu yang tak pernah terjawab oleh apapun, meninggalkan bekas kekosongan. Kosong, berikat, bertajuk memikat mata yang mencoba mendengar bisikan hati. Perkataan kosongpun terdengar sangat keras, memukul tepat sasaran. Panah ucapan yang tak pernah sampai pada titik pusat, mencoba menusuk nafas. Detak pikiran menyapa, seakan hidup tanpa makna tersirat. Mencoba menggapai haluan lurus yang terjebak dalam lingkaran tanda tanya. Melihat penuh kekosongan tanpa ada kepastian arti, merujuk kehampaan hitam. Warna yang semula terlihat begitu cerdas, mulai mencicipi indahnya keraguan langit. Ragu menangkap asa yang selalu berubah bentuk setiap saat.
Langkah warna yang berlari kencang, seakan ingin menerkam kabut, sudah pasti muncul luka sayatan. Jika mata adalah pikiran dan hati adalah mata, maka ruang kabut tak mungkin berwujud. Sisa penglihatan yang dirasakan terus meleleh menyelimuti langit sampai tak sempat berkata. Lidah menangis ingin menyapa harapan kosong yang terkikis oleh ludahnya sendiri. Tangisan lidah mulai terdengar, merintih angan yang tak sempat ditunjukkan. Gejolak api kabut menguap, mengeluarkan keganasan pikiran. Tolakan demi tolakan dijadikan senjata ampuh untuk melawan kata hilang. Tak terlihat luka goresan dari lilitan kabut yang menjelma lembut melawan langit. Menggores harapan yang hinggap di pucuk menara. Membawanya sampai ke langit dan seketika dihempaskan turun ke bumi, sadis!! Hancur lebur membawa pecahan harapan yang tak ternilai oleh tingginya menara.
Menara pun menertawakan apa yang terjadi, sembunyi di balik awan yang telah menjadi saksi. Memperhatikan setiap saat perlakukan yang terus menipu pikiran. Dibalik tertawanya menyimpan suatu inti harapan yang menari nari di atas air. Ketika indahnya air tak selembut awan, kabutpun mulai beroktak. Mengungkap teriakan hati yang selama ini terpaku di satu titik kosong. Tanyakan hati dan pikiranmu?! Sapalah mereka setiap saat, ajaklah mereka berbicara, buatlah mereka tertawa bersama, hingga lenyaplah kata “Hilang”.