APA NIAT IBADAH KITA?
Ada tiga tingkatan manusia dalam beribadah kepada Allah.
Yang pertama Ibadahnya seorang budak. Seorang budak lazimnya sangat takut kepada Tuannya. Sehingga ia berkerja keras untuk menghindari diri dari amarah atau amukan sang majikan. Segala yang ia lakukan adalah semata-mata karena kewajiban yang ia lakukan adalah harus di selesaikan. Jika tidak selesai pekerjaan itu, maka bersiaplah untuk menerima siksa dari sang majikan. Budak selalu akan memaksakan diri untuk melakukan pekerjaanya itu demi keselamatan dirinya sendiri. Andaikan saja ia mengetahui bahwa majikannya adalah orang yang tidak pernah marah dan penyiksa, maka mungkin budak tersebut akan enggan bekerja keras atau bahkan mungkin malah menyepelekan pekerjaannya atau tugas yang diberikan kepadanya.
Demikian pula seorang hamba yang menganggap bahwa ibadah itu adalah kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Ia akan memaksakan diri terus melakukan ibadah. Cenderung orang seperti ini hanya akan melakukan hal-hal atau ibadah yang wajib saja. Karena ia akan berfikir bahwa jika ia telah ibadah maka kewajibannya kepada Allah telah diselesaikan. Dan ia telah merasa lepas dari siksaan Allah karena telah menjalankan kewajiban tersebut. Seorang hamba yang beribadah karena takut azab Allah, Karena ia berfikir bahwa Allah adalah tuhan yang suka menyakiti Hamba-Nya. Tuhan yang suka dendam atas tidakan hamba yang meremehkan-Nya. Tuhan yang senangnya memberikan hukuman atas kesahan manusia.
Tidak ……! Itu salah kaprah …! Allah adalah Tuhan yang Maha Esa pengasih lagi Maha Penyayang yang tak mungkin kasih sayang-Nya akan ternoda dengan siksaan yang Ia lakukan sendiri terhadap hamba-Nya. Allah tidak suka menyiksa karena Allah begitu menyayangi hamba-Nya. Dan buat seorang hamba yang ibadah lantaran takut kepada Allah, andaikan Ia tahu bahwa mustahil bagi Allah menyiksa hambanya, mungkin Ia bahkan akan berhenti beribadah. Ia lupa atau bahkan mungkin belum tahu bahwa ibadah yang dilakukannya adalah untuk dirinya sendiri. Yang manfaatnya pun akan dirasakan sendiri, baik manfaat dalam kehidupan di dunia ini bahkan kelak di akhirat. Ia menganggap bahwa ibadah bukanlah suatu kebutuhan, tapi kewajiban.
Oleh karena itu, sering didapati orang seperti ini akan merasa bangga ketika Ia telah melakukan ibadah tertentu. Ironisnya, terkadang Ia memperolok orang yang tidak beribadah, menyebutnya kafir, munafik dengan penuh kebencian, bukan malah menasehati atau mendekati agar ikut beribadah bersamanya. Tapi daripada tidak ibadah sama sekali, masih mending ibadah meskipun ibadahnya hanya karena takut kepada Allah. Bukankah dalam kitab nashoihul ‘ibad dikatakan bahwa orang yang beribadah karena takut kepada Allah, maka Allah akan menjauhkan api neraka darinya.
Yang Kedua, ada orang yang beribadah karena mengharapkan pahala. Ini adalah ibadahnya dagang, bisnisman. Yang di harapkan adalah imbalan atau balasan yang berbentuk pahala agar ia bisa masuk ke Syurga. Ibadahnya pamrih. Butuh bayaran berupa pahala. Bila tidak dibayar dengan pahala, Ia tidak akan Ibadah. Komersil. Ibadah yang dilakukannya mengharap upah. Apalagi ketika Ia bersedekah Ia akan berharap Allah menggantinya dengan berlipat ganda, jika tidak dibalas dengan rezeki yang banyak, Ia akan mengumpat dan mencela Allah. Orang ini memilikki ciri, jika Ia bersedekah, ia akan meminta do’a dari orang yang disedekahi.
Padahal andaikan saja ia tidak meminta do’a , maka Allah akan membalasnya dengan segala yang baik buatnya, bukan hanya apa yang ia inginkan. Umpamanya, ketika ia bersedekah kemudian meminta do’a kepada yang disedekahi agar Allah lekas memberinya jodoh, maka jika Allah ingin mengabulkan, ya hanya sekedar jodoh yang ia dapatkan. Tapi ketika ia menyembunyikan sedekahnya kepada yang menerima, hingga yang menerima tidak tahu darimana sedekah itu, maka Allah tidak hanya memberikan jodoh yang tampan / cantik, dari keturunan baik-baik, sholeh atau sholehah. Kaya raya dan segala kebaikan lainnya.
Orang yang beribadah karena berharap mendapatkan pahala dan bisa masuk syurga akan berhenti ibadah jika syurga dan neraka itu tidak ada.
Memang tepat, jika pahala dijadikan iming-iming buat manusia yang berwatak selalu mencari keuntungan. Oleh karenanya Rasulullah banyak memberikan gambaran pahala yang besar atas suatu ibadah yang di lakukan oleh hamba. Sebab kebanyakan manusia yang bersifat pedagang, “ ndak mau rugi “ bila ia melakukan sesuatu yang harus menguntungkan bagi dirinya, Orang yang begini , ia akan hanya melakukan ibadah sunnah yang pahalanya besar. Yang kecil seperti menyelamatkan nyamuk dari kematian, atau membiarkan lalat untuk meneguk kopinya, tidak akan ia lakukan Nyamuk sedang cari makan, di gaplok…! Lalat yang ikut nimbrung di gelas kopinya, ditangkep terus diplenet. Sadis …!!!.
Intinya, baik ibadah sang budak maupun ibadah sang pedagang adalah ibadah yang saama-sama mengharapkan pamrih atau imbalan. Lalu apa dong niat kita dalam beribadah? Ridho Allah ? hemm …
Ibadah yang kita lakukan meskipun hanya berharap mendapatkan ridho Allah, namanya tetap saja berharap . butuh imbalan pamrih …! Meskipun yang di harapkan adalah ridho. Judulnya, ia masih berharap atas ibadahnya kan?
Bukankah Allah berfirman, wamaa umiruu illa liya”budullaha mukhlishiina la huddiin …? Bahwa Allah tidak akan memerintahkan seseorang untuk ibadah kecuali ibadah yang dilakukan dengan ikhlas? Ikhlas itu adalah senang. Cinta Demen. Jadi ibadah yang dilakukan manusia hendaknya berangkat dari rasa senang kepada Allah. Ia beribadah karena semata-mata senang kepada Allah SWT. dan inilah macam ketiga dari jenis ibadah manusia.
Jadi yang Ketiga adalah Beribadah bukan karena takut kepada Allah, Bukan juga karena mengharap ridho atau pahala Allah, tapi beribadah karena ia sangat mencintai Allah. Ia tidak akan berharap apaun dari Allah. Pokoknya ia telah melakukan apa yang disenangi Allah, maka ia sudah merasa senang melakukannya. Mau dapat pahala kek, atau nggak kek. Mau dikasih syurga kek, atau neraka kek bodo amat. Toh, ketika Allah sudah meraa senang kepada hamba lantaran hamba-Nya terus melakukan yang disenangi Allah, kemudian hamba itu tetap dimasukkan Allah kedalam neraka, maka yang rugi ya neraka itu sendiri, panas dan siksaanya jadi hilang karena ada orang yang dicintai Allah terselip disana.
Neraka jadi tidak berfungsi karena ada hamba kekasih Allah. Ingatkah saudara akan kisah Malaikat Jibril yang numpang lewat neraka sambil membawa ember yang berisikan airmata hamba yang menangis karena ridu kepada Allah? Setetes dari airmata itu tumpah ke neraka, maka spontan api neraka yang begitu berkobar dan membara, surut dan padam. Dengan sendirinya Allah akan menjadi ridho dan cinta kepada hamba, ketika hamba tersebut terus saja melakukan hal-hal yang dicintai Allah. Itu sudah rumus. Tanpa kita berharap ridho Allah pun. Jika kita melakukan sesuatu yang diridhoi Allah, Maka Allah pasti ridho.
Ada pepatah bilang, kalau sudah cinta, maka gunung kudaki dan lautan kan ku sebrangi. Jika anda adalah wanita, bayangkan dan renungkanlah, ketika anda sangat-sangat mencintai lelaki pujaan, anda akan melakukan perbuatan apapun yang ia sukai. Lah, kalau anda terus saja melakukan perbuatan yang disukai oleh lelaki idaman anda, maka lelaki itu akan jatuh cinta kepada anda. Itu pasti. Apakah anda merasa berat saat melakukan perbuatan yang disukai oleh lelaki pujaan itu? Tentu tidak. Anda akan melakukannya dengan senang hati . Inilah yang dibilang, tidak ada pengorbanan dalam cinta. Sebab apa yang dilakukan oelh seseorang yang sedang jatuh cinta, akan terasa nikmat.
Namun, jika anda mengaku cinta kepada seseorang, tapi enggan melakukan sesuatu yang disukai oleh orang itu, ini harus dipertanyakan cintanya. Jangan-jangan itu bukan cinta tapi nafsu. Nafsu hanya membuat seseorang tersiksa. Begitu pula kaitannya dengan Allah. Ketika anda mengaku cinta kepada Allah, tapi enggan melakukan perbuatan yang dicintai Allah, maka perlu dipertanyakan keimanan anda. Jangan-jangan anda hanya memanfaatkan Allah untuk menutupi nasfu atau keinginan anda. Jika Allah tidak memberikan keinginan anda, maka anda akan sakit hati dan gelisah luar biasa. Itu sangat menyakitkan. Wallahua’lam.
Oleh : Abu Dania, Hidayat, Afwan Rosyadi.